Maulid Nabi Ala Adat Sasak, Desa Bayan

Foto & Teks oleh: Johannes P. Christo




Dua hari setelah Maulid Nabi (22/3), di desa adat sasak Karang Bajo, Kec. Bayan, Lombok Barat, sejumlah penduduk adat bersiap-siap melakukan rangkaian acara perayaan Maulid Nabi yang digelar secara adat atau masyarakat setempat biasa menyebut dengan Maulid Adat, sejak siang hari para wanita sudah menumbuk padi (Menutu) bersama-sama dan berirama dengan menggunakan bambu panjang ditempat menumbuk padi yang berbentuk seperti lesung perahu, biasa disebut “Rantok”. Disaat yang bersamaan diiringi dengan gamelan khas Desa Bayan (Kelenjang Mulut), sebagian warga adat menuju "Kampo" yaitu desa asli atau area yang pertama didiami oleh suku sasak Islam, mereka menyerahkan sebagian sumber penghasilannya seperti, padi, sayur-sayuran, hewan ternak dan menyatakan nadzarnya kepada “Inan Menik” yaitu orang yang menerima hasil bumi dari para warga nantinya hasil bumi tersebut akan diolah menjadi hidangan untuk dipersembahkan pada ulama dan tokoh adat sasak, besok sore pada hari ke dua Maulid Adat, hal ini adalah bentuk rasa syukur warga atas penghasilnnya, kemudian “Inan Menik” melanjutkan dengan memberikan tanda di dahi warga adat dengan sirih sebagai ritual penandaan anak adat (Nyimbik).


Malam harinya bertepatan dengan bulan purnama saat para pemain gamelan sudah masuk menuju Masjid Kuno Bayan berarti acara bertandingnya dua orang warga pria dengan menggunakan rotan (Temetian) sebagai alat pemukul dan perisai sebagai pelindungnya yang terbuat dari kulit sapi, akan segera dimulai, permainan yang biasa disebut “Presean” biasa dilakukan oleh para “Pepadu” atau orang yang dihandalkan dalam permainan ini, namun pada acara Maulid Adat ini siapa saja yang ingin dipersilahkan, atau warga yang bernadzar bahwa ketika Maulid Adat dia akan bertanding. Permainan yang dihelat tepat didepan Masjid Kuno Bayan ini, tidak didasari rasa dendam hanya sekedar hiburan dan apabila salah satu pemain terluka, keduanya harus meminta maaf dengan bersalaman seusai permainan. Ini merupakan tradisi hiburan Maulid Adat yang dilakukan sejak berabad-abad.



Pada sore harinya, hari ke dua pelaksanaan Maulid Adat (23/3), “Praja Maulid” atau para pemuda/ warga dari desa adat sasak Bayan dan Karang Bajo beriringan membawa persembahan yang berupa hidangan seperti nasi dan lauk pauknya dari desanya untuk dihidangkan bagi para ulama dan tokoh adat sasak didalam Masjid Kuno Bayan, ini merupakan wujud rasa syukur warga adat sasak Desa Bayan kepada para ulama sekaligus menjadi puncak acara perayaan kelahiran Nabi Muhammad yang dirayakan secara adat sasak di Desa Bayan.




Desa Bayan yang terletak di Lombok Barat merupakan daerah awal masuknya Islam di Pulau Lombok, yang dibawa oleh para Wali Songo, terbukti dari adanya Masjid Kuno Bayan sebagai masjid pertama dan menjadi pusat penyebaran agama Islam di Pulau Lombok, kemudian terjadilah penggabungan antara adat sasak dan agama Islam. Di areal masjid yang bentuk bangunannya masih sangat tradisional ini, juga terdapat beberapa makam para leluhur penyebar agama Islam di Pulau Lombok.






Grebeg Mulud Kraton Yogyakarta : Antara Makna dan Mitos sebuah tradisi

Foto : dim

Orang-orang berebut atribut Gunungan itu,mereka memburu semua yang membentuknya. Laki-laki perempuan, tua maupun muda berhak atas semuanya. Bukan itu, tapi nilai berpetuah untuk hidup mereka disana, hanya semacam seremonial saja riuhnya Grebeg itu, yang tidak terlihat adalah semangat-semangat untuk hidup. Berdasar Kraton berlimpah berkah... nanti ketika sampai dirumah, tali,bambu dan semua yang membentuk gunungan mereka letakkan di ladang dan sawah “Biar tahun depan panen besar” kata mereka, “Biar semangat rakyat tidak kendur” kata tradisi itu sebenarnya.







Nama saya Ismail

foto : dim

Ismail 20 tahun_ bekerja sebagai pemulung karena dia lahir dari keluraga miskin yang tidak sanggup membayar uang sekolah ”Terakhir saya sekolah kelas 2 SMP” katanya. Sebagai seorang pemulung, Ismail memiliki prinsip hidup yang baik_ dia berkata “Saya bukan pemulung yang tidak benar, saya tidak mencuri seperti apa yang banyak dilakukan para pemulung sekarang ini”. Hari itu Ismail yang tidak beruntung hidupnya masih tidak beruntung lagi karena dia tidak bertemu dengan rongsokan besi yang katanya berharga paling mahal, maka untuk menambah penghasilan dia mengumpulkan sampah plastik di TPA Jimbaran "Ini harga satu kilonya cuma enamratus rupiah, mas".


Manusia Perkotaan Indonesia

Foto: dim


Kehidupan perkotaan di Indonesia tidak lepas dari eksisitensi masyarakat kecil yang mencoba menikmati hidup dengan menjadi diri mereka sendiri. Terkadang mereka menaifkan diri sebagai pengikut budaya global yang gemerlap dan mahal, akhirnya perjuangan eksisitensi diri mereka berada dalam jebakan kekacauan, kegembiraan masal dalam eksplorasi erotisme perempuan kerap menjadi warna kebahagiaan mereka. Dalam keresahan yang sama, generasi yang lebih muda cenderung mengimitasi gaya hidup anti kemapanan, mereka mengambil sisi brutal, memberi tanda untuk tindak kekerasan dimasa depan. Itulah sepenggal potret masyarakat kecil perkotaan yang merasa di anak tirikan oleh keadaan.



Perempuan di Rana Gender

Foto: dim

Eksistensi kaum perempuan masih menjadi perjuangan, walupun beberapa dari mereka bekerja dalam bidang pekerjaan yang terbilang keras namun mereka tetap diperlakukan sebagai makhluk yang lemah. Tampak dalam foto_
seorang penambang pasir perempuan di Bali. Disela-sela dia bekerja hari itu beberapa kali dia tampak digoda oleh rekan kerjanya yang semuanya laki-laki. perempuan penambang pasir itu mungkin salah satu sosok yang melakoni kesetaraan gender dalam arti yang sebenarnya atau mungkin kesetaraan gender bagi dia lebih berarti jebakan keadaan semata.




Wajah Pasar Tradisional Pulau Dewata

Foto oleh: Johannes P. Christo

Pasar Kumbasari Kab. Badung Denpasar, Bali, merupakan salah satu pasar terbesar dan tertua yang berada di tengah kota Denpasar. Lokasinya yang terbelah oleh sungai Badung menjadikan pasar ini pernah tenggelam akibat meluapnya air sungai. Pasar ini buka dari pagi hingga pagi lagi namun sebagian pasar ini kalau siang berubah menjadi lahan parkir saat menjelang malam lahan tersebut berubah menjadi pasar malam yang menjual segala jenis sayuran, buah-buahan, sesajen untuk sembahyang hingga VCD bajakan.

Kurangnya menejemen pasar yang baik menjadikan kondisi pasar yang kurang bersih dan masih banyaknya para pedagang yang masih berjualan di pinggir jalan hingga jembatan sungai Badung, hal ini terkadang meyebabkan kemacetan disaat jam-jam pulang kerja.





Hidup dari Batu Putih

Foto oleh: Johannes P. Christo


Inilah sedikit dari wajah para kuli batu kapur yang ada di bukit Jimbaran, Bali. Berkerja dengan berbekal alat seadanya mereka berusaha untuk tetap menghidupi keluarganya walaupun matahari pada hari itu sangat menyengat kulit dan bahaya yang selalu mengancam dari gunungan batu kapur yang menjulang tinggi.
Tidak sedikit pula para kuli yang usianya sudah tidak muda lagi dan sudah bekerja lebih dari 10 tahun harus memecah batu yang ukurannya kadang lebih besar dari tubuhnya, selain itu para kaum hawa pun juga ikut terlibat, mereka biasanya mendapat bagian yang lebih ringan seperti memilah-milah batu kecil. Batu kapur yang sangat berguna unutk pembangunan jalan, jembatan dan gedung ini sudah menghidupi banyak warga karena hampir sebagian besar mereka yang bekerja adalah warga sekitar daerah Jimbaran. Dengan upah yang masih terlampau jauh dari kebutuhan jaman sekarang, mereka tetap berusaha untuk bertahan hidup, sekalipun terkadang cuaca tidak mendukung sehingga terkadang menghambat pekerjaan mereka.